Menimbang Paradigma Hermeneutika dalam Menafsirkan Al-Qur’an
Rudy AlhanaSejatinya dalam menafsirkan al-Qur’an, seorang mufasir dituntut menguasai beberapa cabang ilmu yang diperlukan untuk menafsirkan al-Qur’an. Artinya, dalam menafsirkan tidak boleh menggunakan logika pribadi tak berdasar, perasaan, atau spekulasi-spekulasi yang hanya berwujud subjektivitas. Metode tafsir yang digunakan harus sesuai dengan tuntunan yang ada. Seorang mufasir juga bukan hanya dituntut menguasai ilmu bidang tafsir saja, tetapi juga harus shalih kepribadiannya.
Bagi yang tidak setuju hermenutika, berpendapat, jika hermeneutika ditarik untuk menjadi metode penafsiran qur’an, maka kita akan mendapatkan sesuatu yang rancu. Karena hermeneutika berangkat dari budaya yang jauh dari budaya keislaman. Pertama kali digunakan sebagai metode penafsiran, hermeneutika digunakan sebagai metode penafsiran Kitab Bibel. Bila kita menilik kepada i’jazul qur’an, maka metode ini akan terpatahkan, karena kualitas Qur’an jelas di atas kitab-kitab lainnya. Kemudian, Al-Qur’an adalah kitab suci, sangatlah tidak selevel dengan sastra Yunani kuno yang ditafsirkan dengan metode hermeneutika. Hermeneutika menitikberatkan penafsiran secara kontekstual, bukan tekstual. Padahal, segala hal yang otentik haruslah berawal dengan penafsiran yang tekstual, bukan kontekstual terlebih dahulu. Dapat dikatakan, bahwa digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id iv hermeneutika hanyalah penafsiran sesuai pandangan dan nalar si penafsir.